Pil Pahit Bernama Kompromi

Perusahaan adalah organisasi yang melakukan usaha. Usaha tersebut bisa bertujuan untuk mendapatkan keuntungan (profit oriented) atau tidak (nirlaba). Terlepas dari tujuannya, perusahaan butuh resource untuk dapat beroperasi. Resource itu sendiri terdiri dari waktu, uang, dan manusia. Resource, apapun wujudnya, sifatnya terbatas. Ini semacam gravitasi; aturan main alam semesta. Oleh karena itu, perusahaan selalu dibatasi sumber daya.

Keterbatasan sumber daya memunculkan prioritas. Prioritas akan tampak dari pekerjaan yang dipilih untuk dikerjakan –terlepas suka atau tidak– karena menyangkut kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Keterbatasan sumber daya memaksa perusahaan melakukan pekerjaan prioritas yang dampaknya terkadang merugikan –termasuk merugikan masyarakat di dalam perusahaan itu sendiri– semata-mata demi keberlangsungan hidup perusahaan. Hal ini perlu dicatat dan dipahami dengan baik.

Keterbatasan sumber daya yang mengancam keberlangsungan perusahaan lah yang menjadi motivasi utama terjadinya PHK massal. Oleh karena itu prioritas yang dibuat harus memiliki dampak signifikan terhadap perusahaan seberapa pun pahitnya keputusan tersebut.

Negara, pun, dapat dilihat sebagai sebuah perusahaan

Salah satu fungsi utama negara adalah mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. Dan dalam menjalankan fungsi tersebut negara harus berkompetisi dengan negara lain – artinya negara harus kompetitif.

Prioritas negara ini dalam 5 tahun terakhir yang dapat dengan mudah kita amati adalah pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur tercetus di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia disingkat MP3EI – sebuah inisiatif yang dihasilkan pemerintahan SBY pada 2011 lalu.

Pembangunan membutuhkan sumber daya bernama uang. Maka, prioritas pembangunan infrastruktur ini menghasilkan prioritas lain yakni mendapatkan uang. Prioritas penyerapan uang diwujudkan dalam bentuk Tax Amnesty dan target penyerapan pajak yang sangat tinggi. FYI, departemen pajak negara ini bekerja mati-matian untuk mencapai target tersebut.

Sekarang, mari kita coba pahami bagaimana kira-kira negara memprioritaskan pilihannya. Prioritas pekerjaan dapat dinilai dari derajat penting dan urgensi-nya (referensi: Eisenhower Decision Matrix):

  1. penting dan mendesak
  2. penting namun tidak mendesak
  3. tidak penting namun mendesak
  4. tidak penting dan tidak mendesak

Framework di atas membantu kita menjawab (oke, mengira-ngira) bagaimana negara ini memprioritaskan pilihannya (saya pilih dua contoh saja):

  • pembangunan infrastruktur memiliki prioritas tinggi, artinya: penting dan mendesak
  • penyelesaian kasus pelanggaran HAM: penting namun tidak mendesak

Kenapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM jatuh ke kuadran penting namun tidak mendesak? Pekerjaan ini penting karena kita sangat butuh keadilan ditegakkan. Namun pekerjaan ini tidak berdampak langsung ke fungsi utama negara: mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. (Side note: Tapi pekerjaan ini sangat penting buat saya pribadi dan banyak orang lain, khususnya keluarga yang kena dampak dari pelanggaran HAM).

Pembangunan infrastruktur dianggap penting karena dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan harapannya mengentaskan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi menjangkau banyak orang di negara ini, jadi dampaknya besar. Mendesak karena kata kuncinya ada di kata mempercepat. Artinya secara organik akan butuh waktu lama hingga ekonomi bertumbuh. Kenapa butuh dipercepat? Karena negara sudah ketinggalan dibanding kompetitor.

Negara bisa saja fokus ke pekerjaan yang tidak penting namun mendesak, serta tidak penting dan tidak mendesak. Membuat keputusan yang membahagiakan banyak orang namun tidak menghasilkan dampak ke perbaikan hidup masyarakatnya secara signifikan dan tidak berkelanjutan.

Ingat selalu:

  1. perusahaan dibatasi oleh sumber daya (waktu, uang, dan manusia) maka harus membuat prioritas walau sulit diterima semua komponen perusahaan, dan
  2. perusahaan berwujud negara ini juga punya kompetisi yaitu negara lain yang siap mengeksploitasi kita lebih jauh

Kita sebagai masyarakat dapat mengamati dan merasakan dampak dari prioritas yang dipilih negara/perusahaan. Sebagian dari kita memang dapat menikmati hasilnya namun tidak bisa dipungkiri ada banyak masyarakat yang nahas menjadi korban yang dirugikan dari pekerjaan prioritas tersebut.

Lalu kita harus bagaimana?

Sejujurnya saya sendiri tidak tahu.

Saya pribadi sangat ingin sekali menuntut negara untuk:

  • meluruskan sejarah soal peristiwa pembantaian simpatisan atau yang dituduh simpatisan PKI. Menurut saya hal ini sangat sangat sangat penting, walau saya sadar penuh dampaknya ke kehidupan masyarakat dalam jumlah besar tidak signifikan
  • fokus mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM misalnya peristiwa semanggi 98
  • menghukum berat pelaku korupsi
  • dsb

Tapi, lagi-lagi, mengingat sumber daya negara ini terbatas dan negara ini tidak bisa melakukan semuanya dalam waktu singkat maka saya akhirnya belajar berkompromi dan menelan pil pahit dengan harapan generasi berikutnya di masa depan bisa belajar dan melakukan hal yang lebih baik dari kita.

Yang saya coba utarakan adalah: cobalah menjadi lebih adil ke negara dan pemerintah. Khususnya jika negara memprioritaskan hal yang benar dan berdampak dalam jangka panjang karena umumnya keputusan seperti ini tidak populer. Dan jadilah warga negara yang well-informed.

Penutup

Proyek jalan tol Medan - Tebing Tinggi pada 2014 baru 13%. Kesulitannya saat itu adalah masalah dana. Proyek tersebut layak secara ekonomi, tapi tidak secara finansial. Artinya: tidak ada yang mau mendanai. Lihat link wikipedia.

Seperti yang sudah saya coba sebut di atas proyek infrastruktur sama sekali tidak seksi karena keuntungan/manfaatnya hanya bisa dirasakan dalam jangka panjang padahal modalnya besar sekali.

Sudah terbentuk di sanubari kita budaya short-termist atau kecenderungan mengincar keuntungan jangka pendek.